Friday, 02 September 2005
|
Pendahuluan
Pertama-tama harus dideklarasikan bahwa aborsi bukanlah semata masalah medis atau kesehatan masyarakat, melainkan juga problem sosial yang terkait dengan paham kebebasan (freedom/liberalism) yang dianut suatu masyarakat. Paham asing ini tak diragukan lagi telah menjadi pintu masuk bagi merajalelanya kasus-kasus aborsi, dalam masyarakat mana pun. Data-data statistik yang ada telah membuktikannya.
Di luar
negeri, khususnya di Amerika Serikat, dua badan utama, yaitu Federal Centers
for Disease Control (FCDC) dan Alan Guttmacher Institute (AGI), telah
mengumpulkan data aborsi yang menunjukkan bahwa jumlah nyawa yang dibunuh
dalam kasus aborsi di Amerika -- yaitu hampir 2 juta jiwa -- lebih banyak
dari jumlah nyawa manusia yang dibunuh dalam perang mana pun dalam sejarah
negara itu. Sebagai gambaran, jumlah kematian orang Amerika Serikat dari
tiap-tiap perang adalah: Perang Vietnam 58.151 jiwa, Perang Korea 54.246
jiwa, Perang Dunia II 407.316 jiwa, Perang Dunia I 116.708 jiwa, Civil War
(Perang Sipil) 498.332 jiwa. Secara total, dalam sejarah dunia, jumlah
kematian karena aborsi jauh melebihi jumlah orang yang meninggal dalam semua
perang jika digabungkan sekaligus (www.genetik2000.com).
Data
tersebut ternyata sejalan dengan data statistik yang menunjukkan bahwa
mayoritas orang Amerika (62 %) berpendirian bahwa hubungan seksual dengan
pasangan lain, sah-sah saja dilakukan. Mereka beralasan toh orang lain
melakukan hal yang serupa dan semua orang melakukannya (James Patterson dan
Peter Kim, 1991, The Day America Told The Thruth dalam Dr. Muhammad Bin Saud
Al Basyr, Amerika di Ambang Keruntuhan, 1995, hal. 19).
Bagaimana
di Indonesia ? Di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini, sayang sekali
ada gejala-gejala memprihatinkan yang menunjukkan bahwa pelaku aborsi
jumlahnya juga cukup signifikan. Memang frekuensi terjadinya aborsi sangat
sulit dihitung secara akurat, karena aborsi buatan sangat sering terjadi
tanpa dilaporkan kecuali jika terjadi komplikasi, sehingga perlu perawatan di
rumah sakit. Akan tetapi, berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada sekitar
2.000.000 kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Berarti ada
2.000.000 nyawa yang dibunuh setiap tahunnya secara keji tanpa banyak yang
tahu (Aborsi.net). Pada 9 Mei 2001 Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
(waktu itu) Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa dalam Seminar 'Upaya Cegah
Tangkal terhadap Kekerasan Seksual Pada Anak Perempuan' yang diadakan Lembaga
Perlindungan Anak (LPA) Jatim di FISIP Universitas Airlangga Surabaya
menyatakan, 'Angka aborsi saat ini mencapai 2,3 juta dan setiap tahun ada
trend meningkat.” (www.indokini.com). Ginekolog dan Konsultan Seks,
dr. Boyke Dian Nugraha, dalam seminar ”Pendidikan Seks bagi Mahasiswa” di
Universitas Nasional Jakarta, akhir bulan April 2001 lalu menyatakan, setiap
tahun terjadi 750.000 sampai 1,5 juta aborsi di Indonesia (www.suarapembaruan.com).
Dan
ternyata pula, data tersebut selaras dengan data-data pergaulan bebas di
Indonesia yang mencerminkan dianutnya nilai-nilai kebebasan yang
sekularistik. Mengutip hasil survei yang dilakukan Chandi Salmon Conrad di
Rumah Gaul binaan Yayasan Pelita Ilmu Jakarta, Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis
pada Simposium Menuju Era Baru Gerakan Keluarga Berencana Nasional, di Hotel
Sahid Jakarta mengungkapkan ada 42 % remaja yang menyatakan pernah
berhubungan seks; 52 % di antaranya masih aktif menjalaninya. Survei ini
dilakukan di Rumah Gaul Blok M, melibatkan 117 remaja berusia sekitar 13
hingga 20 tahun. Kebanyakan dari mereka (60 %) adalah wanita. Sebagian besar
dari kalangan menengah ke atas yang berdomisili di Jakarta Selatan (www.kompas.com).
Berdasarkan
hal ini, dapat disimpulkan bahwa aborsi memang merupakan problem sosial yang
terkait dengan paham kebebasan (freedom/liberalism) yang lahir dari paham
sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan (Abdul Qadim Zallum, 1998).
Terlepas
dari masalah ini, hukum aborsi itu sendiri memang wajib dipahami dengan baik
oleh kaum muslimin, baik kalangan medis maupun masyarakat umumnya. Sebab bagi
seorang muslim, hukum-hukum Syariat Islam merupakan standar bagi seluruh
perbuatannya. Selain itu keterikatan dengan hukum-hukum Syariat Islam adalah
kewajiban seorang muslim sebagai konsekuensi keimanannya terhadap Islam.
Allah SWT berfirman :
“Maka
demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu (Muhammad) sebagai pemutus perkara yang mereka perselisihkan di antara
mereka.” (TQS An Nisaa` 65)
“Dan
tidak patut bagi seorang mu`min laki-laki dan mu`min perempuan, jika Allah
dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka.” (TQS Al Ahzab 36)
Sekilas
Fakta Aborsi
Aborsi secara umum adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk hidup di luar kandungan. (JNPK-KR, 1999) (www.jender.or.id) Secara lebih spesifik, Ensiklopedia Indonesia memberikan pengertian aborsi sebagai berikut : 'Pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram.' Definisi lain menyatakan, aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Aborsi merupakan suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh (Kapita Seleksi Kedokteran, Edisi 3, halaman 260).
Dalam
dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu:
1. Aborsi Spontan/ Alamiah atau Abortus Spontaneus 2. Aborsi Buatan/ Sengaja atau Abortus Provocatus Criminalis 3. Aborsi Terapeutik/ Medis atau Abortus Provocatus Therapeuticum Aborsi spontan/ alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.
Aborsi
buatan/ sengaja/ Abortus Provocatus Criminalis adalah pengakhiran kehamilan
sebelum usia kandungan 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram
sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu
maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak).
Aborsi terapeutik / Abortus Provocatus therapeuticum adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa (www.genetik2000.com).
Pelaksanaan
aborsi adalah sebagai berikut. Kalau kehamilan lebih muda, lebih mudah
dilakukan. Makin besar makin lebih sulit dan resikonya makin banyak bagi si
ibu, cara-cara yang dilakukan di kilnik-klinik aborsi itu bermacam-macam,
biasanya tergantung dari besar kecilnya janinnya.
1.Abortus untuk kehamilan sampai 12 minggu biasanya dilakukan dengan MR/
Menstrual Regulation yaitu dengan penyedotan (semacam alat penghisap debu
yang biasa, tetapi 2 kali lebih kuat).
2.Pada janin yang lebih besar (sampai 16 minggu) dengan cara Dilatasi & Curetage.
3.Sampai 24 minggu. Di sini bayi sudah besar sekali, sebab itu biasanya harus
dibunuh lebih dahulu dengan meracuni dia. Misalnya dengan cairan garam yang
pekat seperti saline. Dengan jarum khusus, obat itu langsung disuntikkan ke
dalam rahim, ke dalam air ketuban, sehingga anaknya keracunan, kulitnya
terbakar, lalu mati.
4.Di atas 28 minggu biasanya dilakukan dengan suntikan prostaglandin sehingga terjadi proses kelahiran buatan dan anak itu dipaksakan untuk keluar dari tempat pemeliharaan dan perlindungannya. 5. Juga dipakai cara operasi Sesaria seperti pada kehamilan yang biasa (www.genetik2000.com).
Dengan
berbagai alasan seseorang melakukan aborsi tetapi alasan yang paling utama
adalah alasan-alasan non-medis. Di Amerika Serikat alasan aborsi antara lain
:
1.Tidak ingin memiliki anak karena khawatir menggangu karir, sekolah, atau tanggung jawab yang lain (75%) 2.Tidak memiliki cukup uang untuk merawat anak (66%) 3. Tidak ingin memiliki anak tanpa ayah (50%)
Alasan
lain yang sering dilontarkan adalah masih terlalu muda (terutama mereka yang
hamil di luar nikah), aib keluarga, atau sudah memiliki banyak anak. Ada
orang yang menggugurkan kandungan karena tidak mengerti apa yang mereka
lakukan. Mereka tidak tahu akan keajaiban-keajaiban yang dirasakan seorang
calon ibu, saat merasakan gerakan dan geliatan anak dalam kandungannya.
Alasan-alasan
seperti ini juga diberikan oleh para wanita di Indonesia yang mencoba
meyakinkan dirinya bahwa membunuh janin yang ada di dalam kandungannya adalah
boleh dan benar. Semua alasan-alasan ini tidak berdasar.
Sebaliknya,
alasan-alasan ini hanya menunjukkan ketidak pedulian seorang wanita, yang
hanya mementingkan dirinya sendiri (www.genetik2000.com).
Data ini
juga didukung oleh studi dari Aida Torres dan Jacqueline Sarroch Forrest
(1998) yang menyatakan bahwa hanya 1% kasus aborsi karena perkosaan atau
incest (hubungan intim satu darah), 3% karena membahayakan nyawa calon ibu,
dan 3% karena janin akan bertumbuh dengan cacat tubuh yang serius. Sedangkan
93% kasus aborsi adalah karena alasan-alasan yang sifatnya untuk kepentingan
diri sendiri termasuk takut tidak mampu membiayai, takut dikucilkan, malu,
atau gengsi (www.genetik2000.com).
Aborsi
Menurut Hukum Islam
Abdurrahman Al Baghdadi (1998) dalam bukunya Emansipasi Adakah Dalam Islam halaman 127-128 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.
Yang
memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli (w.
1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang
bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin
sedang mengalami pertumbuhan.
Yang
mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar (w. 1567 M)
dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin.
Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir berpendapat
bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah
haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami
pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang
bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya. Akan makin
jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan
akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan
sampai dibuang atau dibunuh (Masjfuk Zuhdi, 1993, Masail Fiqhiyah Kapita
Selekta Hukum Islam, halaman 81; M. Ali Hasan, 1995, Masail Fiqhiyah Al
Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, halaman 57; Cholil
Uman, 1994, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, halaman
91-93; Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi
Hukum Islam Masa Kini, halaman 77-79).
Pendapat
yang disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah
ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh
terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan. Abdullah bin Mas’ud berkata
bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
“Sesungguhnya
setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40 hari dalam
bentuk ‘nuthfah’, kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ selama itu pula, kemudian
dalam bentuk ‘mudghah’ selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh kepadanya.”
(HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi)
Maka
dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena
berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam kategori
pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil syar’i
berikut. Firman Allah SWT :
“Dan
janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan
memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (TQS Al An’aam : 151)
“Dan
janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan
memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (TQS Al Isra` : 31 )
“Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan (alasan) yang benar (menurut syara’).” (TQS Al Isra` : 33)
“Dan
apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia
dibunuh.” (TQS At Takwir : 8-9)
Berdasarkan
dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa atau
telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah
suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.
Adapun
aborsi sebelum kandungan berumur 4 bulan, seperti telah diuraikan di atas,
para fuqoha berbeda pendapat dalam masalah ini. Akan tetapi menurut pendapat
Abdul Qadim Zallum (1998) dan Abdurrahman Al Baghdadi (1998), hukum syara’
yang lebih rajih (kuat) adalah sebagai berikut. Jika aborsi dilakukan setelah
40 (empat puluh) hari, atau 42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan
pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram. Dalam hal ini
hukumnya sama dengan hukum keharaman aborsi setelah peniupan ruh ke dalam
janin.
Sedangkan
pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya
boleh (ja'iz) dan tidak apa-apa. (Abdul Qadim Zallum, 1998, Beberapa Problem
Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ, Abortus,
Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, halaman
45-56; Abdurrahman Al Baghdadi, 1998, Emansipasi Adakah Dalam Islam, halaman
129 ).
Dalil
syar’i yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40
malam adalah hadits Nabi SAW berikut :
'Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah),'Ya Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan ?' Maka Allah kemudian memberi keputusan...' (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud RA)
Dalam
riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda :
'(jika
nutfah telah lewat) empat puluh malam...'
Hadits
di atas menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan
anggota-anggota tubuhnya, adalah setelah melewati 40 atau 42 malam. Dengan
demikian, penganiayaan terhadapnya adalah suatu penganiayaan terhadap janin
yang sudah mempunyai tanda-tanda sebagai manusia yang terpelihara darahnya
(ma'shumud dam). Tindakan penganiayaan tersebut merupakan pembunuhan
terhadapnya.
Berdasarkan
uraian di atas, maka pihak ibu si janin, bapaknya, ataupun dokter, diharamkan
menggugurkan kandungan ibu tersebut bila kandungannya telah berumur 40 hari.
Siapa
saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah berbuat
dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diyat
bagi janin yang gugur, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan, atau
sepersepuluh diyat manusia sempurna (10 ekor onta), sebagaimana telah
diterangkan dalam hadits shahih dalam masalah tersebut. Rasulullah SAW
bersabda :
'Rasulullah
SAW memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan
yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak
laki-laki atau perempuan...' (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah RA)
(Abdul Qadim Zallum, 1998).
Sedangkan
aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh
(ja'iz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim
belum menjadi janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah
(gumpalan darah), belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan
ciri-ciri minimal sebagai manusia.
Di samping
itu, pengguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum dapat
disamakan dengan 'azl (coitus interruptus) yang dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya kehamilan. 'Azl dilakukan oleh seorang laki-laki yang tidak
menghendaki kehamilan perempuan yang digaulinya, sebab 'azl merupakan
tindakan mengeluarkan sperma di luar vagina perempuan. Tindakan ini akan
mengakibatkan kematian sel sperma, sebagaimana akan mengakibatkan matinya sel
telur, sehingga akan mengakibatkan tiadanya pertemuan sel sperma dengan sel
telur yang tentu tidak akan menimbulkan kehamilan.
Rasulullah
SAW telah membolehkan 'azl kepada seorang laki-laki yang bertanya kepada
beliau mengenai tindakannya menggauli budak perempuannya, sementara dia tidak
menginginkan budak perempuannya hamil. Rasulullah SAW bersabda kepadanya :
'Lakukanlah
'azl padanya jika kamu suka ! ' (HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud)
Namun
demikian, dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin,
ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan
bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan
janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan melakukan aborsi
dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu. Menyelamatkan kehidupan
adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam, sesuai firman Allah SWT :
“Barangsiapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya.” (TQS Al Maidah : 32)
Di
samping itu aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya pengobatan.
Sedangkan Rasulullah SAW telah memerintahkan umatnya untuk berobat.
Rasulullah SAW bersabda :
'Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula
obatnya. Maka berobatlah kalian !' (HR. Ahmad)
Kaidah
fiqih dalam masalah ini menyebutkan :
“Idza
ta’aradha mafsadatani ru’iya a’zhamuha dhararan birtikabi akhaffihima”
“Jika
berkumpul dua madharat (bahaya) dalam satu hukum, maka dipilih yang lebih
ringan madharatnya.” (Abdul Hamid Hakim, 1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al
Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, halaman 35).
Berdasarkan
kaidah ini, seorang wanita dibolehkan menggugurkan kandungannya jika
keberadaan kandungan itu akan mengancam hidupnya, meskipun ini berarti
membunuh janinnya. Memang mengggugurkan kandungan adalah suatu mafsadat.
Begitu pula hilangnya nyawa sang ibu jika tetap mempertahankan kandungannya
juga suatu mafsadat. Namun tak syak lagi bahwa menggugurkan kandungan janin
itu lebih ringan madharatnya daripada menghilangkan nyawa ibunya, atau
membiarkan kehidupan ibunya terancam dengan keberadaan janin tersebut
(Abdurrahman Al Baghdadi, 1998).
Pendapat
yang menyatakan bahwa aborsi diharamkan sejak pertemuan sel telur dengan sel
sperma dengan alasan karena sudah ada kehidupan pada kandungan, adalah
pendapat yang tidak kuat. Sebab kehidupan sebenarnya tidak hanya wujud
setelah pertemuan sel telur dengan sel sperma, tetapi bahkan dalam sel sperma
itu sendiri sudah ada kehidupan, begitu pula dalam sel telur, meski kedua sel
itu belum bertemu. Kehidupan (al hayah) menurut Ghanim Abduh dalam kitabnya
Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah (1963) halaman 85 adalah “sesuatu yang ada
pada organisme hidup.” (asy syai` al qa`im fi al ka`in al hayyi). Ciri-ciri
adanya kehidupan adalah adanya pertumbuhan, gerak, iritabilita, membutuhkan
nutrisi, perkembangbiakan, dan sebagainya. Dengan pengertian kehidupan ini,
maka dalam sel telur dan sel sperma (yang masih baik, belum rusak) sebenarnya
sudah terdapat kehidupan, sebab jika dalam sel sperma dan sel telur tidak ada
kehidupan, niscaya tidak akan dapat terjadi pembuahan sel telur oleh sel
sperma. Jadi, kehidupan (al hayah) sebenarnya terdapat dalam sel telur dan
sel sperma sebelum terjadinya pembuahan, bukan hanya ada setelah pembuahan.
Berdasarkan
penjelasan ini, maka pendapat yang mengharamkan aborsi setelah pertemuan sel
telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan, adalah pendapat
yang lemah, sebab tidak didasarkan pada pemahaman fakta yang tepat akan
pengertian kehidupan (al hayah). Pendapat tersebut secara implisit menyatakan
bahwa sebelum terjadinya pertemuan sel telur dan sel sperma, berarti tidak
ada kehidupan pada sel telur dan sel sperma. Padahal faktanya tidak demikian.
Andaikata katakanlah pendapat itu diterima, niscaya segala sesuatu aktivitas
yang menghilangkan kehidupan adalah haram, termasuk ‘azl. Sebab dalam
aktivitas ‘azl terdapat upaya untuk mencegah terjadinya kehidupan, yaitu
maksudnya kehidupan pada sel sperma dan sel telur (sebelum bertemu). Padahal
‘azl telah dibolehkan oleh Rasulullah SAW. Dengan kata lain, pendapat yang
menyatakan haramnya aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan
alasan sudah adanya kehidupan, akan bertentangan dengan hadits-hadits yang
membolehkan ‘azl.
Kesimpulan
Aborsi bukan sekedar masalah medis atau kesehatan masyarakat, namun juga problem sosial yang muncul karena manusia mengekor pada peradaban Barat. Maka pemecahannya haruslah dilakukan secara komprehensif-fundamental-radikal, yang intinya adalah dengan mencabut sikap taqlid kepada peradaban Barat dengan menghancurkan segala nilai dan institusi peradaban Barat yang bertentangan dengan Islam, untuk kemudian digantikan dengan peradaban Islam yang manusiawi dan adil.
Hukum
aborsi dalam pandangan Islam menegaskan keharaman aborsi jika umur
kehamilannya sudah 4 (empat) bulan, yakni sudah ditiupkan ruh pada janin.
Untuk janin yang berumur di bawah 4 bulan, para ulama telah berbeda pendapat.
Jadi ini memang masalah khilafiyah. Namun menurut pemahaman kami, pendapat
yang rajih (kuat) adalah jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari,
atau 42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan
pembentukan janin, maka hukumnya haram. Sedangkan pengguguran kandungan yang
usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja'iz) dan tidak
apa-apa. Wallahu a’lam [ ]
REFERENSI
|
Sabtu, 25 Januari 2014
ABORSI DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar